LAHAN YANG BERCERITA
Nara Kupu Village, Oktober 2021
Di jalan beraspal kasar, dua mobil yang berlawanan arah maju perlahan-lahan, menghindari singgungan. Jalan mobil memang tak terlalu lebar. Apalagi di tepi jalan ibu-ibu tampak melangkah beriringan, pergi kondangan ke sebuah rumah yang menyelenggarakan pernikahan. Di situlah sebuah pesta yang diiringi penyanyi dangdut dengan rok pendek dan organ tunggal tengah digelar.
Suasana berubah total ketika gerbang masuk dibuka. Gemuruh dangdut mendadak senyap, satu-satunya bunyi berasal dari 11 ekor angsa yang senantiasa sibuk mengeksplorasi kolam berair dangkal dan lapangan rumput hijau. Sementara, sembilan ekor rusa tutul (axis axis) yang sesungguhnya merupakan pusat perhatian pengunjung, dengan matanya yang besar diam-diam mengamati dari kejauhan.
Rusa-rusa cantik, sehat, yang terbiasa dengan kehadiran manusia itu tak ragu menghampiri pengunjung yang menyodorkan penganan spesial: wortel, juga biskuit. Bahkan si Rambo, begitu salah satu rusa yang paling senior di komunitas itu dipanggil, terkadang menggosokkan kepalanya yang bertanduk tumpul dan badannya kepada pengunjung – pertanda ia menginginkan biskuit di tangan pengunjung. Biskuit adalah suplemen makanannya.
Sejak 2015, rusa tutul jadi penduduk resmi Nara Kupu Village. Dan Si Rambo, sang kepala suku yang disegani komunitasnya, merupakan generasi kedua dari hewan yang jinak ini.
Nara Kupu Village memang bukan situs yang terasing dari lingkungan perkampungan yang cukup padat di Sawangan, Depok. Setiap pagi, sebelum azan subuh, pengunjung bisa mendengar ratib, tahlil dan tarhim dari pengeras suara langgar dan masjid setempat. Namun Kupu Nara Village adalah secret gem. Ada ketenangan yang reflektif, ada “permata tersembunyi” di antara pemukiman penduduk, perumahan-perumahan dan hijau pepohonan di mana patung Dewi Sri, sang dewi kesuburan dari bahan fiber, tegak di pinggir kolam sambil menuangkan air kehidupan dari sebuah kendi.
Sosok Dewi Sri seakan mengingatkan kembali bahwa Indonesia adalah negara agraris yang telah ditinggalkan para petani mudanya, seraya mencari kerja ke sentra-sentra industri di kota. Kepada para pengunjung yang berasal dari kota-kota Jakarta, Bogor bahkan Bandung, Nara Kupu Village memang menyodorkan sebuah narasi pertanian : kisah perjalanan panjang sebelum sayur-mayur dari tanah pertanian yang subur itu dihidangkan di ruang makan keluarga. Suatu ide sederhana, namun amat penting disimak anak-anak kota yang selama ini terasingkan dari kehidupan agraris.
Nara Kupu Village adalah secret gem yang bisa “bercerita” banyak. Tiap-tiap pagi Ismail, 19 tahun, pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, mengontrol deretan sayur selada, kale, bayam dan caisim muda yang tertata rapi pada pipa-pipa paralon yang berlubang. Di lahan hidrofonik ini, bibit-bibit tanaman itu disemai pada rockwool, spons mungil berukuran 2 x 2 cm yang berfungsi menggantikan tanah, dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed, sebelum akhirnya bisa dipanen lima minggu kemudian.
Khusus untuk menghalau kutu, Ismail secara reguler menyemprotkan air yang mengandung brontowali dan tembakau pada daun-daun muda mereka. Ya, di lahan hidrofonik yang tak banyak menyita ruang itu, bibit-bibit sayuran tumbuh menjadi tanaman “bayi”, menjadi “remaja,” lalu sayur yang siap dipanen dan dikemas, untuk dikirim ke Kedai Sayur Kendal, Jakarta.
Letak lahan kebun tanaman organik –yang juga merupakan wilayah tanggungjawab Ismail– berdampingan dengan kebun hidrofonik. Di kebun organik, kita menjumpai variasi tanaman yang relatif sama dengan kebun organik. Perbedaannya: untuk mengusir hama, Ismail selalu menggunakan pestisida nabati, yaitu cairan yang mengandung daun pepaya, patrawali dan bawang putih.
Sekitar 60 persen dari tiga hektar tanah Nara Kupu Village merupakan lahan pertanian hijau yang secara serius dikelola beberapa pemuda daerah seusia Ismail. Ada Falah, misalnya, yang senantiasa sibuk mengurusi tanah yang ditanami kacang panjang, sereh dan jahe. Ada juga Yudi yang secara khusus mengelola “kebun digital” yang menggunakan tangan teknologi digital untuk menyiram dan mengawasi kebunnya. Satu pesan khusus bahwa para petani dewasa ini harus berkawan, ketimbang menghindari teknologi mutakhir.
*
Selamat datang di Nara Kupu Village. Hari ini Senin terakhir di bulan Oktober, pukul 8.00 pagi, dan seperti biasa titik hijau ini, menjadi tempat persinggahan sebagian burung yang berlalu-lalang di langit Sawangan, Depok.
Burung-burung pipit, gereja dan tekukur mampir, boleh jadi sekedar melepas dahaga, atau singgah dengan tujuan tunggal: bertelur. Nara Kupu Village meletakkan rumah-rumah burung berikut tempat air minumnya, pada dahan-dahan pohon rindang. Benar, titik hijau ini menyediakan lingkungan yang nyaman bagi siapa saja.
Karakter Nara Kupu Village yang tak hendak mengasingkan diri dari alam sekitar juga tampak jelas pada bangunan berlantai dua tempat para pengujung menginap yang disebut vila. Vila dengan beranda lebar dan jendela-jendela vertikal berkaca lebar itu seakan-akan hendak menegaskan bahwa rumah batu tersebut tidak berdiri terpisah atau terasingkan dari alam sekitar.
Suasana serupa juga terasa ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan lampu-lampu menyala redup. Ya, redup. Rumah batu dengan plafon anyaman tikar bambu itu seperti “tahu diri” untuk tidak menonjolkan diri terlalu berbeda dari alam yang mulai temaram. Padahal villa yang di depannya terdapat patung seorang pemuda berseragam anak sekolah dari bahan fiber itu menyimpan harta terpendam yang sangat berharga. Yakni sebuah secret gem, perpustakaan dengan ribuan buku di dalamnya. Selamat datang di Nara Kupu Village, Sawangan, Depok